Hmmm, kira-kira Anda setuju nggak
kalau ada istilah “gambar bergerak”?
Sebenarnya apa yang selama ini kita
sebut film atau video itu, adalah kumpulan gambar. Kumpulan gambar yang
terlihat realistik dan bisa dipercaya, yang ketika semakin banyak gambar dan
semakin cepat transisi antara satu gambar dengan gambar berikutnya, semakin
nyata gerakan dari gambar-gambar tadi.
Nah, pada blog kali ini kita akan
ngebahas soal kumpulan gambar dan transisi ini, yang seringkali kita bungkus
dengan istilah “frame rates”.
Kita akan coba tela’ah apa sih
sebenernya frame rates itu serta bagaimana efeknya. Daaaaan,
cuplikan The Hobbit versi 48 frame per seconds di atas adalah titik
dimana kita memulai bahasan ini :)
Apa
Sih Frame Rate Itu?
Kalau kamu ngerti bagaimana
proyektor film bekerja, sebenarnya itu udah mirip kayak yang ada di dugaan kamu
kok: ada roll yang isinya film puanjang, isinya gambar-gambar semua, mulai dari
scene pertama sampai credit.
Tapi yang mesti dimengerti di sini
adalah: satu frame adalah satu gambar statis (nggak bergerak), kemudian
frame-frame tadi diputar (dan disinari ke arah layar) dengan cepat sehingga
waktu kita lagi nonton di bioskop kesannya kayak nonton video. Nah seberapa
cepat frame-frame tadi diputar ada ukurannya yang biasa kita sebut FRAME RATES,
dan satuannya adalah FRAME PER SECOND (seberapa banyak frame yang yang
diperlihatkan per detiknya).
Sederhana kan? Frame rates adalah
ukuran kecepatan frame/gambar yang ditunjukkan per detiknya, satuannya frame
per second (fps).
Bagaimana
Frame Rates Dicerna oleh Mata?
Mata manusia masih mampu
membedakan antara gambar satu dengan gambar lainnya ketika kumpulan
gambar tadi hanya diputar dengan kecepatan di bawah 10-12 fps. Otak kita masih
bisa mengenali frame-frame tadi sebagai gambar statis yang ditampilkan secara
bergantian, bukan sebagai animasi yang halus tanpa patah-patah.
Namun begitu frame rates nya
menginjak angka 18-26fps, otak kita mulai susah membedakan per masing-masing
gambarnya, dan membuat kita berpikir itu adalah benar-benar “gambar bergerak”.
Your browser does not support HTML5
video tag.
Jadi jika frame rate terlalu pelan,
pergerakan jadi terkesan patah-patah, namun jika terlalu cepat juga ada
masalah. Film live-action kalau direkam di 48fps cenderung terkesan terlalu 3D,
terlalu nyata, jadi terkesan kayak opera sabun malahan.
Kita udah terlalu biasa dengan frame
rates 24fps pada film-film, alhasil ketika The Hobbit awal release dengan
settingan 48fps-nya, malah banyak yang mengkritik filmnya terkesan kayak video
amatir. Kok bisa? Yup, videonya detail dan terasa nyata sekali sehingga orang
terbayang kayak lagi ngelihat rekaman video sendiri yang mereka rekam
meenggunakan handycam (rata-rata handycam sudah bisa merekam di atas 30fps).
Apa yang membuat fim The Hobbit dan
video ber-frame rates tinggi lainnya terkesan nyata sekali (dan akhirnya jadi
nggak seberapa disukai kalau jadi film)?
Alasan teknisnya adalah “Motion
Blur”.
Secara sederhananya motion blur
adalah hilangnya detail ketika kita melihat sesuatu yang bergerak dengan sangat
cepat. Hal ini tidak lain karena mata kita hanya memiliki area fokus yang
terbatas. Ketika kita melihat objek yang diem—atau ketika melihat objek yang
bergerak pelan dimana mata kita masih bisa ngikutin gerakannya, kita bisa melihat
dengan jelas tanpa kehilangan detil visual sedikit pun.
Tapi lain halnya kalau kita melihat
mobil yang bergerak cepat, yang sampai-sampai kita udah bela-in ngelirik plus
noleh dengan cepat pun kita masih nggak bisa mengimbangi kecepatan mobil tadi,
maka terciptalah motion blur.
Di dunia film, motion blur muncul
karena kita melihat sekumpulan gambar yang ditayangkan dalam waktu yang
singkat. Untuk sebuah film yang dimainkan di frame rates 25fps, maka setiap
framenya hanya akan muncul di depan mata kita untuk 40 millisecond (1/25
detik), kemudian ada sepersekian detik lagi untuk jeda dan diikuti oleh frame
yang baru.
Nah jika kumpulan gambar
tadi menunjukkan orang yang sedang berlari, maka video yang direkam
langsung menggunakan settingan 24/25 fps bisa kita gambarkan seperti berikut:
frame 1: kaki lurus ke bawah
frame 2: kaki diangkat sambil ditekuk untuk melangkah ke depan
frame 3: kaki lurus tapi menapak ke depan
Nah karena masing-masing frame hanya
dapat jatah 40 millisecond, pergerakan dari kaki lurus ke bawah dan kaki lurus
ke depan terlalu singkat (alias gerakannya cukup cepat), jadilah motion blur.
Berbeda dengan video yang direkam
dengan settingan 48fps, bisa jadi sebelum frame 1 ke frame 2, ada beberapa
frame-frame lain yang menggambarkan bagaimana kaki diangkat pelan-pelan ke
atas. Jadi untuk menggambarkan dari kaki lurus di bawah ke kaki menapak ke
depan bisa-bisa butuh 10 frame.
Itu artinya dalam waktu yang
sama kita akan melihat lebih banyak frame dibandingkan video 24fps, akan ada
lebih banyak detail, dan alhasil tidak akan ada lagi gerakan yang terlalu
cepat. Motion blur jadi hilang karena kita melihat lebih banyak detil dari
tambahan frame, dan scene-nya jadi terkesan nyata sekali. Inilah yang terjadi
pada The Hobbit tadi.
Standar film saat ini adalah direkam
dengan settingan 24fps. Namun sebenarnya mata kita jelas bisa mencerna scene
dengan frame rates lebih tinggi, hanya saja seperti kasus The Hobbit, ya
kesannya jadi nggak kayak film pada umumnya gitu, hehe.
Paling
Bagus Ngerekam di Frame Rates Berapa?
Sebenarnya ngerekam pakai 120fps pun
nggak masalah kok. Karena ngerekam menggunakan frame rates tinggi juga banyak
keuntungannya.
Yang pertama adalah soal slowmotion.
Denga merekam pada frame rates di atas 90fps, kita bisa mendapatkan scene a la
slowmotion tanpa harus terlihat patah-patah. Jujur zaman sekarang, kita pasti
membutuhkan momen-momen yang seperti ini, yang lebih bagus ketika dijadikan
slow-mo.
Kemudian yang kedua adalah dalam
merekam olahraga. Saat ini kalau kalian seperti saya yang suka nonton highlight
NBA dan sepakbola di Youtube, pasti lebih suka kalau ada yang upload di
resolusi HD 60fps, iya nggak?
Tampilan jadi lebih bagus lebih
detil, dan tidak terkesan lambat banget kayak slowmo, jadi mungkin 60fps adalah
standar bagus untuk video karena tidak terlalu cepat hingga ada motion blur
yang parah dan tidak terlalu lambat.
Your browser does not support HTML5
video tag.
Sejauh ini menonton video yang 60fps
baru enak kalau nonton aktivitas sporty karena gerakan-gerakan mereka yang
real. Beberapa channel olahraga malah (kalau pakai TV kabel) udah menyiarkan
pertandingan dengan settingan 60fps.
Sebaliknya coba bayangkan nonton
music video di Youtube yang 60fps, ada nggak? Jarang kan? Kalau ada coba
tonton, nyaman nggak lihatnya?
Ini efek yang sama seperti The
Hobbit tadi. Belum banyak music video yang dimainkan dari hasil rekaman 60fps,
jadi ketika kita menontonnya terasa nggak nyaman karena “nggak biasa”.
Begitu juga ketika kita melihat
adegan kung fu yang sambil terbang, atau fighting scene biasa lah kalau perlu,
kemudian direkam menggunakan setting 60fps, dijamin pasti nggak nyaman. Karena
beda dengan tinju beneran, scene berkelahi pada film ada koreografinya,
gerakan-gerakannya ditata, ketika direkam dengan 60fps dan motion blur jadi
“hilang”, pasti adegannya jadi kayak main pura-pura berkelahi banget (apalagi
yang adegan kung fu sambil terbang).
Poinnya adalah: frames rate tinggi baik karena membuat video terkesan lebih
nyata, tapi ketika digunakan untuk merekam sesuatu yang “nggak nyata” jadi
membuat scene itu lebih “nggak nyata”.
Kembali ke pertanyaan awal, frame
rates mana yang paling baik?
Tergantung pada video seperti apa
yang ingin Anda rekam. Secara pribadi saya menyarankan tetap di standar film
semua video pada umumnya 24-30fps, kemudian ketika merekam olahraga, alam liar,
dan lain-lain yang full of movement secara natural bisa coba di 60fps, jika mau
slow-motion bisa coba 120fps.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar